Dampingi Anak di Internet
SHUTTERSTOCK
KOMPAS.com — Banyaknya kasus penculikan remaja putri setelah berkenalan melalui teman baru di Facebook banyak diawali dengan rayuan gombal pria nakal. Iming-iming materi dan kata-kata manis sering menjadi bahan jebakan pelaku untuk mengelabui korban. Tak sedikit remaja putri yang masuk dalam jebakan tersebut, bahkan ada yang berakhir tragis.
Praktisi internet, Judith MS Lubis, menyatakan bahwa data Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Februari 2010 menunjukkan ada 7 kasus penculikan per bulan dengan kondisi bahwa korban sebelumnya berkomunikasi melalui jejaring sosial Facebook dengan pelaku. Beberapa kasus yang sempat terkuak ke publik adalah penculikan Latifah di Jombang, Nova di Tangerang, dan Dewi di Pondok Aren, Tangerang. Kasus terakhir adalah Devie Permatasari, siswi SMP 28 Kota Bandung, yang dibawa kabur Reno Tofik alias Tofik Hidayat setelah berkenalan di Facebook.
"Korban-korban itu terjerat karena rayuan pria yang ia kenal di Facebook. Devie, Nova, Latifah, dan yang terbunuh, Dewi, di Pondok Aren, semua terkena rayuan oleh pria yang dikenal di Facebook," ujar praktisi internet, Judith MS Lubis, dalam perbincangan dengan Kompas.com. Ia mengaku khawatir dengan terus bertambahnya korban penculikan anak yang menggunakan Facebook sebagai sarana.
Menurutnya, peran orangtua sangat penting dalam mendampingi anak saat menggunakan Facebook, Twitter, dan layanan instant messenger. Orangtua bahkan perlu membudayakan keterbukaan informasi antara orangtua dan anak agar terbiasa saling bertukar informasi dan berdiskusi sehingga setiap kali akan bertindak di internet, hal itu benar-benar dilakukan dengan pertimbangan matang.
"Jadi, bekaca dari kasus-kasus tersebut, kita layak waspada terhadap anak kita saat menggunakan Facebook," ujar Judith. Orangtua perlu memantau aktivitas anak di internet dan jejaring sosial yang dia ikuti.
Hal terpenting yang menurutnya perlu dilakukan orangtua adalah memberikan pemahaman kepada anak bahwa pengguna Facebook dan layanan lainnya di internet belum tentu menggunakan identitas sebenarnya. Orangtua juga perlu menekankan bahwa anak jangan chat sembarangan dengan orang yang tidak dikenal atau baru dikenalnya. Bahkan, kalau perlu daftar friend list benar-benar teman yang sudah dikenal baik.
"Mereka sebaiknya tidak menemui orang-orang yang dikenal di dunia maya tanpa pengawasan keluarga. Berteman dengan siapa pun boleh, tetapi menemui secara langsung itu harus atas izin keluarga dan dalam pengawasan orangtua. Jangan pernah terbujuk atas rayuan siapa pun yang menawarkan uang atau aneka gadget," urainya.
Selain itu, anak juga perlu diberi pemahaman bahwa informasi di internet bisa disalahgunakan orang yang tidak bertanggung jawab. Seperti nomor telepon atau ponsel dan alamat rumah, data-data itu seharusnya tak dicantumkan di situs jejaring sosial. Jangan pula memberikan nomor telepon kepada orang yang belum dikenal baik.
Bahkan kalau perlu orangtua sedikit mengorbankan privasinya, misalnya dengan berbagi password bersama anaknya seperti yang dia lakukan dengan kedua anaknya yang kini menginjak usia remaja. Tak semua orang mungkin bisa melakukan hal tersebut. Namun, bagi Judith, ia merasa perlu melakukannya karena orangtua juga sewaktu-waktu perlu mengawasi lalu lintas pesan lewat inbox yang tak terdeteksi langsung dari halaman depan.
"Anakku dua remaja, usia 19 tahun dan 16 tahun. Aku selalu rutin awasi Facebook anak-anakku dan Twitter mereka. Aku komunikasi rutin tentang apa yang tertulis di Twitter maupun Facebook mereka. Bahkan aku tahu password mereka. Bukan untuk intervensi, tetapi untuk pengawasan karena mereka pun tahu password Facebook dan Twitter-ku," cerita Judith. Menurutnya, anak-anak tidak masalah setelah diberi pengertian karena, meski mengetahui password-nya, ia selalu mengomunikasikan saat mengaksesnya dan tidak menyalahgunakan akses untuk melakukan intervensi.
Namun, menurut Judith, yang tak kalah penting adalah dalam berkomunikasi dengan anak, orangtua harus menggunakan bahasa anak agar komunikasi nyaman dan anak tak merasa diintervensi. "Jika kita bisa berkomunikasi dengan bahasa anak, maka mereka akan mengerti. Semua tergantung dari bagaimana kita bicara dengan mereka. Jika kita bicara dari sisi kepentingan mereka di masa depan, maka anak justru akan berterima kasih," kata dia.
Praktisi internet, Judith MS Lubis, menyatakan bahwa data Komite Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada Februari 2010 menunjukkan ada 7 kasus penculikan per bulan dengan kondisi bahwa korban sebelumnya berkomunikasi melalui jejaring sosial Facebook dengan pelaku. Beberapa kasus yang sempat terkuak ke publik adalah penculikan Latifah di Jombang, Nova di Tangerang, dan Dewi di Pondok Aren, Tangerang. Kasus terakhir adalah Devie Permatasari, siswi SMP 28 Kota Bandung, yang dibawa kabur Reno Tofik alias Tofik Hidayat setelah berkenalan di Facebook.
"Korban-korban itu terjerat karena rayuan pria yang ia kenal di Facebook. Devie, Nova, Latifah, dan yang terbunuh, Dewi, di Pondok Aren, semua terkena rayuan oleh pria yang dikenal di Facebook," ujar praktisi internet, Judith MS Lubis, dalam perbincangan dengan Kompas.com. Ia mengaku khawatir dengan terus bertambahnya korban penculikan anak yang menggunakan Facebook sebagai sarana.
Menurutnya, peran orangtua sangat penting dalam mendampingi anak saat menggunakan Facebook, Twitter, dan layanan instant messenger. Orangtua bahkan perlu membudayakan keterbukaan informasi antara orangtua dan anak agar terbiasa saling bertukar informasi dan berdiskusi sehingga setiap kali akan bertindak di internet, hal itu benar-benar dilakukan dengan pertimbangan matang.
"Jadi, bekaca dari kasus-kasus tersebut, kita layak waspada terhadap anak kita saat menggunakan Facebook," ujar Judith. Orangtua perlu memantau aktivitas anak di internet dan jejaring sosial yang dia ikuti.
Hal terpenting yang menurutnya perlu dilakukan orangtua adalah memberikan pemahaman kepada anak bahwa pengguna Facebook dan layanan lainnya di internet belum tentu menggunakan identitas sebenarnya. Orangtua juga perlu menekankan bahwa anak jangan chat sembarangan dengan orang yang tidak dikenal atau baru dikenalnya. Bahkan, kalau perlu daftar friend list benar-benar teman yang sudah dikenal baik.
"Mereka sebaiknya tidak menemui orang-orang yang dikenal di dunia maya tanpa pengawasan keluarga. Berteman dengan siapa pun boleh, tetapi menemui secara langsung itu harus atas izin keluarga dan dalam pengawasan orangtua. Jangan pernah terbujuk atas rayuan siapa pun yang menawarkan uang atau aneka gadget," urainya.
Selain itu, anak juga perlu diberi pemahaman bahwa informasi di internet bisa disalahgunakan orang yang tidak bertanggung jawab. Seperti nomor telepon atau ponsel dan alamat rumah, data-data itu seharusnya tak dicantumkan di situs jejaring sosial. Jangan pula memberikan nomor telepon kepada orang yang belum dikenal baik.
Bahkan kalau perlu orangtua sedikit mengorbankan privasinya, misalnya dengan berbagi password bersama anaknya seperti yang dia lakukan dengan kedua anaknya yang kini menginjak usia remaja. Tak semua orang mungkin bisa melakukan hal tersebut. Namun, bagi Judith, ia merasa perlu melakukannya karena orangtua juga sewaktu-waktu perlu mengawasi lalu lintas pesan lewat inbox yang tak terdeteksi langsung dari halaman depan.
"Anakku dua remaja, usia 19 tahun dan 16 tahun. Aku selalu rutin awasi Facebook anak-anakku dan Twitter mereka. Aku komunikasi rutin tentang apa yang tertulis di Twitter maupun Facebook mereka. Bahkan aku tahu password mereka. Bukan untuk intervensi, tetapi untuk pengawasan karena mereka pun tahu password Facebook dan Twitter-ku," cerita Judith. Menurutnya, anak-anak tidak masalah setelah diberi pengertian karena, meski mengetahui password-nya, ia selalu mengomunikasikan saat mengaksesnya dan tidak menyalahgunakan akses untuk melakukan intervensi.
Namun, menurut Judith, yang tak kalah penting adalah dalam berkomunikasi dengan anak, orangtua harus menggunakan bahasa anak agar komunikasi nyaman dan anak tak merasa diintervensi. "Jika kita bisa berkomunikasi dengan bahasa anak, maka mereka akan mengerti. Semua tergantung dari bagaimana kita bicara dengan mereka. Jika kita bicara dari sisi kepentingan mereka di masa depan, maka anak justru akan berterima kasih," kata dia.
0 Response to "Dampingi Anak di Internet"
Post a Comment