115 Tahun di Pasifik, Sejarah Orang Indonesia di New Caledonia




Pada 16 Februari 2011, dihiasi awan mendung dan sesekali disertai gerimis, tampak seratusan orang mengikuti upacara di seputar tugu kedatangan di Baei-de-l`Orphelinat, satu tempat di ibu kota Noumea, New Caledonia barat daya Samudera Pasifik.

Dari foto yang dikirimkan oleh staf Konsul Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Noumea, tampak orang-orang berwajah Indonesia, Eropa atau dan Kanak (orang asli New Caledonia) berbusana batik, kebaya atau jas lengkap bercampur untuk mengikuti upacara demi mengenang kedatangan pekerja Indonesia yang tiba di 115 tahun lalu di sana.

"Para pekerja Indonesia dan keturunannya saat ini telah diterima dengan baik oleh masyarakat New Caledonia dan juga telah memberikan sumbangsihnya terhadap pembangunan New Caledonia," kata Konsul Jenderal Republik Indonesia untuk New Caledonia (NC) Ade Sukendar.

NC merupakan kepulauan seluas 18,575 kilometer persegi di Samudera Pasifik yang ditemukan oleh penjelajah James Cook pada 4 September 1774 ketika melakukan perjalanan keduanya di kawasan Pasifik. Ia menamakan wilayah ini New Caledonia karena teringat tanah kelahirannya, Skotlandia.

Di bawah pemerintahan Napoleon III, Prancis mengambil alih NC secara resmi pada 24 September 1853 dan membangun Port de France (Noumea) yang sekarang menjadi ibu kota NC pada 25 Juni 1854.

Tempat itu pada 1864-1897 dijadikan sebagai lokasi pembuangan tidak kurang dari 22.000 narapidana namun setelah Gubernur Prancis di NC, Paul Feillet memberi penghapusan hukuman dan kembali ke kampung halaman mereka, maka imigran dari Asia datang bekerja di pertambangan dan perkebunan di NC.

Bermula dari aturan "Koeli Ordonantie" pada 1880 yang mengatur hubungan kerja antara buruh dan majikan untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja di perkebunan Belanda di Sumatra, Prancis kemudian meminta buruh untuk pertambangan nikel dan perkebunan di NC, maka dikirimlah 170 pekerja dari Pulau Jawa dan tiba di NC pada 16 Februari 1896.

Keberadaan konsuler RI untuk NC yang berkedudukan di ibu kota Noumea mulai 15 Mei 1951 juga terkait dengan keberadaan para pekerja dari Jawa di wilayah NC dan berdasar keputusan presiden tahun 1993 dan menteri luar negeri tahun 2004, sebutan resmi pemerintah RI untuk wilayah ini adalah New Caledonia (bukan Kaledonia Baru).


Tiga Kloter
Djintar Tambunan (65) yang saat ini bekerja sebagai pemborong bangunan sekaligus Ketua Persatuan Masyarakat Indonesia dan Keturunannya di New Caledonia (PMIK) merupakah salah satu sumber untuk mencari tahu sejarah dan kondisi masyarakat Indonesia di NC.

Djintar menceritakan sedikit kisah mengenai masyarakat Indonesia di NC kepada salah seorang staf KJRI Noumea di Wisma Indonesia di sela-sela acara perayaan acara menjamu para sesepuh pada 20 Februari.

"Saya datang ke sini pada 1970, saat pertambangan sedang marak lewat kontrak yang sudah disahkan oleh Departemen Tenaga Kerja," kata Djintar kelahiran Balige, Sumatera Utara.

Menurutnya ada tiga gelombang kedatangan masyarakat Indonesia ke New Caledonia. Pertama adalah kedatangan 170 para pekerja dari pulau Jawa pada 1896 yang bekerja di tambang nikel. Saat kontrak mereka habis, ada yang kembali ke Jawa namun ada juga yang tetap tinggal di NC.

Gelombang kedua terjadi sebelum Perang Dunia II, saat New Caledonia sedang mengalami kekurangan tenaga kerja padahal tambang nikel dan produksi kopi sedang meningkat. Pada periode 1933-1939, lebih dari 7.800 datang dengan kontrak selama lima tahun dan dipekerjakan di kawasan perkebunan, pertambangan dan juga rumah tangga.

Kebanyakan dari mereka menurut Pam Allen, pengajar bahasa dan budaya Indonesia di Universitas Tasmania yang juga menulis mengenai masyarakat Indonesia di NC, bekerja di tambang Tiebaghi terpencil dekat wilayah Koumac di utara NC.

Orang Indonesia bekerja di sana bersama dengan orang Vietnam dan Jepang yang postur tubuhnya dianggap ideal untuk masuk ke terowongan bawah tanah tambang krom.

Kloter terakhir adalah dirinya pada tahun 1970 yang merupakan tahun terakhir kalinya kedatangan orang Indonesia dengan sistem kontrak. Pada akhir 1969 hingga awal 1970 lebih dari seribu orang Indonesia datang, khususnya untuk membangun jembatan Nera di Cote Ouest, jembatan di Cote Est dan menara St. Quentin di Magenta.

Djintar mengatakan setidaknya terdapat tiga kategori masyarakat Indonesia dan keturunannya yang tinggal di NC yaitu golongan niaouli, wong baleh dan wong jukuan. "Niaouli itu adalah keturunan pertama masyarakat Indonesia yang lahir di NC dengan orang tuanya berasal langsung dari Indonesia," kata Djintar.

"Dulu belum ada cuti, termasuk cuti melahirkan jadi begitu si ibu melahirkan anak, tiga hari kemudian, ia harus melaksanakan tugas sebagai orang kontrak, jadi anak tersebut dibalut dengan kain batik dan ditaruh di bawah pohon niaouli saat orang tuanya bekerja," kata Djintar menjelaskan asal usul kata niaouli.

Sementara wong baleh artinya adalah "orang-orang yang kembali (balik)". "Setelah kemerdekaan Indonesia, sekitar tahun 1950-an, orang-orang kontrak menuntut pulang ke Indonesia tapi ternyata di sana mereka sulit untuk hidup sehingga kembali lagi ke New Caledonia," jelasnya.

Tercatat pada 1952 dan 1954-1955 terjadi kepulangan massal orang-orang Jawa dan hanya tinggal 2.000 orang yang menetap di NC, padahal pada akhir 1939-1940 terdapat 20.000 orang keturunan Jawa.

Sedangkan "wong jukuan" artinya adalah bawaan keluarga atau mereka yang lahir di Indonesia namun dibawa ke NC oleh orang Indonesia yang tinggal di NC. Istri Djintar, Soetina masuk dalam golongan niaoli, ayahnya berasal dari Sragen dan ibunya berasal dari Slawi. Soetina sendiri masih menggunakan bahasa jawa ngoko di rumah dan bahasa Prancis --bahasa resmi di NC-- saat berada di luar rumah.

Djintar yang berdarah Batak dan tidak bisa bahasa Jawa maupun Prancis saat datang ke NC, mengakui tidak mengalami kesulitan untuk masalah makanan atau budaya, hanya agak terhambat dalam bahasa pada awalnya.

"Saya seperti berada di daerah Tegal karena makanannya nasi, tempe dan singkong, itu karena mayoritas masyarakat Indonesia di sini orang Jawa dan berbahasa Jawa, masalahnya saya tidak mengerti bahasa Jawa," cerita Djintar yang menikah dengan menggunakan adat Jawa.

Ia pernah disapa "sugeng" oleh seorang saat berkunjung dan ia menjawab "Saya Tambunan" karena mengira orang itu menanyakan nama, padahal arti sapaan tersebut adalah menanyakan kabar, kenang Djintar

Sumber

0 Response to "115 Tahun di Pasifik, Sejarah Orang Indonesia di New Caledonia"

Post a Comment