Siapa Dalang Kerusuhan SARA?
Bambang Widodo:Ungkap Teroris Bisa, Mengapa Rusuh SARA Tak Bisa?
"Kalau polisi mampu mengungkap terorisme, bisa mengungkap siapa perencana-perencananya dan pelaku utamanya, tapi dalam kasus kerusuhan SARA tidak pernah bisa? Jadi kesulitan apa bagi polisi?" kritis pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar.
Mau tidak mau, polisi harus mengungkap pelaku dan dalang kerusuhan Cikeusik dan Temanggung. Bila polisi tidak membongkarnya polisi akan menjadi sasaran dugaan sebagi pihak yang terlibat.
"Kalau polisi begini terus dan tidak tuntas, kalau teror dan narkotika mampu, ini tidak mampu ini ada apa? Polisi akan jadi sasarannya. Agar polisi tidak dikuyo-kuyo ya harus ungkap," ujar Bambang.
Berikut wawancara detikcom dengan Bambang Widodo Umar, pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan dosen Ilmu Kepolisian Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) di Jakarta, Sabtu (12/2/2011).
Kepolisian hingga kini tampak kesulitan menangkap para pelaku kekerasan di Cikeusik dan kerusuhan di Temanggung. Bagaimana tanggapan bapak?
Saya berharap dan pasti semua berharap dalam rangka pengungkapan kasus penyerangan itu bisa dibuktikan oleh kepolisian bahwa itu suatu rekayasa. Artinya, kalau itu ada terorganisir, siapa yang mengorganisir, oknum atau personal siapa atau dari organisasi apa, dan kemudian tujuannya apa. Dan kelompok-kelompok yang merencanakan perencanaan kalau tidak diungkap secara tuntas, ini akan masih begitu-begitu saja. Nah, suatu ketika begitu lagi.
Jadi masyarakat berharap bahwa ini jangan sampai ditutup-tutupi. Organisasi ataupun orang-orang yang merekayasa penyerangan itu harus bisa diungkap secara transparan, lengkap dan utuh. Supaya kalau ada upaya semacam pengacauan kondisi sosial dan pemerintahan saat ini, maka bisa dikenakan pasal-pasal yang cukup berat. Karena kalau ini berjalan terus seperti ini akan memperkeruh keadaan negeri kita.
Apa problem utama yang menjadi kesulitan polisi?
Saya tidak tahu persis, tapi saya hanya membandingkan. Kalau polisi mampu mengungkap terorisme, bisa mengungkap siapa perencana-perencananya dan pelaku utamanya. Tetapi kenapa dalam kasus begini tidak pernah bisa, ini menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat. Jadi kesulitan apa bagi polisi? Dia sebagai seorang ahli, teror saja bisa, teror itu mendunia. Jadi ini yang berkaitan dengan organisasi di masyarakat, kalau tidak terungkap sama saja memelihara bom waktu.
Hal penting yang harus dipahami bagi kepolisian, jangan sampai nanti ada kerjasama satuan. Malah kemungkinan kalau ini tidak diungkap oleh kepolisian akan menjadi bumerang sendiri. Ini kalau tidak terungkap tuntas, akan menjadi beban bagi polisi sendiri. Kasus jangan dibiarkan, sekecil apapun polisi harus bertindak, jangan pernah anggap remeh. Kalau dianggap remeh nanti akan menggejala seperti snow ball dalam dunia ilmu kriminologi, kalau hal-hal sepele dibiarkan akan menjadi bumerang dan beban pekerjaan polisi.
Kalau sudah ada bukti dan saksi, bagaimana bila polisi takut karena ada tekanan?
Polisi tidak boleh takut. Kan sudah dikontrak negara, sudah diberi perlindungan kewenangan, perlindungan kekuasaan untuk bertindak sebagai apat penegak hukum tidak perlu takut pada siapa pun juga, pejabat apapun juga dan kekuatan apapun
juga. Takutnya polisi cuma satu yaitu kepada hukum itu sendiri, bukan takut kepada kekuatan-kekuatan itu.
Maka siapapun juga akan membela kepolisian. Kalau ada kekuatan-kekuatan yang akan menghancurkan polisi, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi sosial lainnya dan negara, pasti akan melindungi polisi. Jadi polisi tidak perlu takut, takutnya
itu kepada hukum. Jangan terpengaruh kekuatan-kekuatan tertentu.
Aksi kekerasan sudah lama sering terjadi, kenapa polisi tak pernah bisa mengungkap pelaku utamanya?
Sebenarnya ada dua hal yang menjadi kelemahaan polisi sejak lama, yaitu lemahnya manajemen operasional dan koordinasi. Pertama masalah strategi, sejak reformasi ini sampai sekarang, Indonesia belum memiliki regulasi atau Undang-undang (UU)
yang mengatur Sistem Keamanan Nasional.
Ini salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penanganan kasus-kasus seperti ini. Dalam kontek manajemen operasional itu yang bertanggung jawab dalam setiap operasi adalah pimpinan kesatuan, apakah itu Kapolres, Kapolda atau Kapolri. Itu melihat sumber tantangan atau ancaman yang dihadapi.
Saya katakan lemah, karena ada indikasi dalam kedua kasus di Pandeglang dan Temanggung itu intelijen sudah mencium. Kalau intelijen kepolisian sudah mencium, data itu wajib diberikan kepada pimpinan terlebih dahulu, karena data intelijen itu untuk konsumsi pimpinan. Kewajiban pimpinan itu menilai atas laporan intelijen itu, yaitu pertama, besar dan kecil dari tatangan yang akan dihadapi. Kedua, cara bertindak atau taktik dan strategi yang akan digunakan. Ketiga, kekuatan yang akan dilibatkan.
Nah, ketiga hal ini yang harus diperhitungkan oleh seorang pimpinan kesatuan. Adanya kebobolan itu berarti ketiga hal ini lemah sekali, di dalam rangka menilai tantangan itu seperti apa berkembangnya seperti apa lemah, memilih strategi dan taktik mengatasi masalah lemah, penyusunan kekuatan untuk menghadapi itu juga lemah. Seperti kasus di Temanggung, kekuatan sudah cukup, tetapi strategi dalam penanganannya lemah.
Kedua, koordinasi antar fungsi. Sebenarnya kalau data intelijen sudah didapatkan, itu proses sistematika dan prosedurnya itu fungsi Bimas (Bimbingan Masyarakat) Polisi cepat memberikan langkah-langkah pendekatan kepada masyarakat agar masyarakat tidak bertindak anarki. Jadi Bimas Polisi dikerahkan semua untuk memberikan penyuluhan.
Ini kan tidak pernah kelihatan selama ini, buktinya data intelijen sudah ada tahu-tahu kekuatan sudah muncul di situ tapi tidak cukup. Tampak koordinasi antar fungsi Intelijen, fungsi Samapta, fungsi Brimob dan fungsi Bimas itu berjalan sendiri-sendiri. Ini artinya koordinasi antar fungsi kepolisian lemah sekali. Jadi dua hal ini, manajemen operasional dan koordinasi antar fungsi lemah. Ini yang perlu diperbaiki oleh pihak kepolisian.
Ada faktor lainnya selain lemah manajemen operasional dan koordinasi itu?
Seperti yang saya katakan, faktor lain itu soal regulasi dan UU yang mengatur Sistem Keamanan Nasional. Di mana keterbantuan unsur-unsur keamanan yang ada di Indonesia, ada Polisi, ada Polisi Pamong Praja dan militer. Padahal keamanan dalam negeri itu tidak hanya polisi yang menanggulanginya. Unsur Satpol PP, Satpam ada polisi khusus dan militer, itu belum terkoordinasi secara sistemik dalam menanggulangi keamanan di dalam negeri. Ini mempengaruhi kemampuan Polri untuk menanggulangi ancaman Kamtibmas.
Solusi mengatasi kegagalan penanganan kasus di Cikeusik dengan mencopot Kapolres Pandeglang dan Kapolda Banten, apakah tepat?
Saya pikir itu tepat, karena kelemahan seperti yang saya katakan menyangkut manajemen operasional dan koordinasi antar fungsi kepolisian yang lemah. Maka petugas di lapangan dan dua kesatuan atau dua tingkat pimpinan ke atasnya itu bisa dicopot. Jadi Kapolri Jenderal Pol Timor Pradopo sudah tepat mencopot Kaplores Pandeglang dan Kapolda Banten itu. Seharusnya langkah yang sama dilakukan juga dalam kasus Temanggung, Jawa Tengah. Seharusnya Kapolri adil dong melakukan tindakan itu, jangan setengah-setengah, karena kasus ini juga sama kebobolan.
Langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membubarkan organisasi massa (Ormas) yang anarkis, bagaimana?
Itu dia seperti yang saya katakan tadi, ini akan menjadi bumerang sendiri bagi kepolisian. Polisi harus berani mengungkap siapa pun pelakunya, tidak perlu takut karena hukum melindungi dia. Kalau polisi begini terus dan tidak tuntas, kalau teror dan narkotika mampu, ini tidak mampu ini ada apa? Polisi akan jadi sasarannya. Agar polisi tidak dikuyo-kuyo ya harus ungkap.
Kalau soal pembubaran Ormas itu sudah diatur dalam UU-nya. Artinya pembubaran itu tidak bisa sembarangan begitu saja. Harus ada bukti-bukti yang kuat antara oknum-oknum atau personal di dalam satu ormas, yang berkaitan dengan tindakan anarkis, yang itu merupakan kebijakan lembaga ormasnya. Kalau itu tidak bisa membuktikan, itu akan sulit juga mau membubarkan.
Jadi harus ada prosedur, fakta-fakta dan bukti-bukti baru bertindak melakukan pembubaran itu. Nah di sinilah sebenarnya kemampuan polisi dituntut untuk membuktikan adanya anarki-anarki yang dilakukan oleh oknum-oknum atau personal ormas tertentu. Kalau itu terkait bisa ditunjukan ke Presiden, seperti apa yang terjadi dalam kasus penyerangan terhadap Koalisi Kebebasan Beragama di Monas dan pengrusakan sejumlah tempat-tempat hiburan malam.
Bagaimana yang harus dilakukan aparat keamanan ke depan dalam mengatasi persoalan ini agar tak terulang lagi?
Harapan saya, polisi harus membedakan mana kasus-kasus atau peristiwa-peristiwa yang ada dugaan berbau politik dengan kewenangan polisi sebagai penegak hukum. Polisi tidak perlu terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu,
polisi hanya taat kepada hukum. Siapa yang melanggar hukum secara pidana, tindak secara tegas.
Tapi kalau polisi masih ragu-ragu dengan intervensi atau dugaan intervensi kepentingan politik, sampai kapan pun republik ini akan goyah terus dan polisi tidak akan menjadi tonggak dalam penegakan hukum. Oleh karena itu polisi harus betul-betul menjadi panglima penegakan hukum, tidak terpengaruh intervensi tertentu. (zal/iy)
tersangka rusuh Temanggung ditangkap
Jakarta - Polisi telah menunjukkan prestasinya dalam mengungkap kasus terorisme. Semestinya polisi juga mampu mengungkap rekayasa kerusuhan berbau SARA yang terjadi di Cikeusik, Pandeglang Banten dan Temanggung, Jawa Tengah. Bila tidak terungkap, kerusuhan berbau SARA akan terus menjadi bom waktu yang siap meledak.
"Kalau polisi mampu mengungkap terorisme, bisa mengungkap siapa perencana-perencananya dan pelaku utamanya, tapi dalam kasus kerusuhan SARA tidak pernah bisa? Jadi kesulitan apa bagi polisi?" kritis pengamat kepolisian Bambang Widodo Umar.
Mau tidak mau, polisi harus mengungkap pelaku dan dalang kerusuhan Cikeusik dan Temanggung. Bila polisi tidak membongkarnya polisi akan menjadi sasaran dugaan sebagi pihak yang terlibat.
"Kalau polisi begini terus dan tidak tuntas, kalau teror dan narkotika mampu, ini tidak mampu ini ada apa? Polisi akan jadi sasarannya. Agar polisi tidak dikuyo-kuyo ya harus ungkap," ujar Bambang.
Berikut wawancara detikcom dengan Bambang Widodo Umar, pengajar di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan dosen Ilmu Kepolisian Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) di Jakarta, Sabtu (12/2/2011).
Kepolisian hingga kini tampak kesulitan menangkap para pelaku kekerasan di Cikeusik dan kerusuhan di Temanggung. Bagaimana tanggapan bapak?
Saya berharap dan pasti semua berharap dalam rangka pengungkapan kasus penyerangan itu bisa dibuktikan oleh kepolisian bahwa itu suatu rekayasa. Artinya, kalau itu ada terorganisir, siapa yang mengorganisir, oknum atau personal siapa atau dari organisasi apa, dan kemudian tujuannya apa. Dan kelompok-kelompok yang merencanakan perencanaan kalau tidak diungkap secara tuntas, ini akan masih begitu-begitu saja. Nah, suatu ketika begitu lagi.
Jadi masyarakat berharap bahwa ini jangan sampai ditutup-tutupi. Organisasi ataupun orang-orang yang merekayasa penyerangan itu harus bisa diungkap secara transparan, lengkap dan utuh. Supaya kalau ada upaya semacam pengacauan kondisi sosial dan pemerintahan saat ini, maka bisa dikenakan pasal-pasal yang cukup berat. Karena kalau ini berjalan terus seperti ini akan memperkeruh keadaan negeri kita.
Apa problem utama yang menjadi kesulitan polisi?
Saya tidak tahu persis, tapi saya hanya membandingkan. Kalau polisi mampu mengungkap terorisme, bisa mengungkap siapa perencana-perencananya dan pelaku utamanya. Tetapi kenapa dalam kasus begini tidak pernah bisa, ini menjadi pertanyaan besar bagi masyarakat. Jadi kesulitan apa bagi polisi? Dia sebagai seorang ahli, teror saja bisa, teror itu mendunia. Jadi ini yang berkaitan dengan organisasi di masyarakat, kalau tidak terungkap sama saja memelihara bom waktu.
Hal penting yang harus dipahami bagi kepolisian, jangan sampai nanti ada kerjasama satuan. Malah kemungkinan kalau ini tidak diungkap oleh kepolisian akan menjadi bumerang sendiri. Ini kalau tidak terungkap tuntas, akan menjadi beban bagi polisi sendiri. Kasus jangan dibiarkan, sekecil apapun polisi harus bertindak, jangan pernah anggap remeh. Kalau dianggap remeh nanti akan menggejala seperti snow ball dalam dunia ilmu kriminologi, kalau hal-hal sepele dibiarkan akan menjadi bumerang dan beban pekerjaan polisi.
Kalau sudah ada bukti dan saksi, bagaimana bila polisi takut karena ada tekanan?
Polisi tidak boleh takut. Kan sudah dikontrak negara, sudah diberi perlindungan kewenangan, perlindungan kekuasaan untuk bertindak sebagai apat penegak hukum tidak perlu takut pada siapa pun juga, pejabat apapun juga dan kekuatan apapun
juga. Takutnya polisi cuma satu yaitu kepada hukum itu sendiri, bukan takut kepada kekuatan-kekuatan itu.
Maka siapapun juga akan membela kepolisian. Kalau ada kekuatan-kekuatan yang akan menghancurkan polisi, lembaga swadaya masyarakat dan organisasi sosial lainnya dan negara, pasti akan melindungi polisi. Jadi polisi tidak perlu takut, takutnya
itu kepada hukum. Jangan terpengaruh kekuatan-kekuatan tertentu.
Aksi kekerasan sudah lama sering terjadi, kenapa polisi tak pernah bisa mengungkap pelaku utamanya?
Sebenarnya ada dua hal yang menjadi kelemahaan polisi sejak lama, yaitu lemahnya manajemen operasional dan koordinasi. Pertama masalah strategi, sejak reformasi ini sampai sekarang, Indonesia belum memiliki regulasi atau Undang-undang (UU)
yang mengatur Sistem Keamanan Nasional.
Ini salah satu faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penanganan kasus-kasus seperti ini. Dalam kontek manajemen operasional itu yang bertanggung jawab dalam setiap operasi adalah pimpinan kesatuan, apakah itu Kapolres, Kapolda atau Kapolri. Itu melihat sumber tantangan atau ancaman yang dihadapi.
Saya katakan lemah, karena ada indikasi dalam kedua kasus di Pandeglang dan Temanggung itu intelijen sudah mencium. Kalau intelijen kepolisian sudah mencium, data itu wajib diberikan kepada pimpinan terlebih dahulu, karena data intelijen itu untuk konsumsi pimpinan. Kewajiban pimpinan itu menilai atas laporan intelijen itu, yaitu pertama, besar dan kecil dari tatangan yang akan dihadapi. Kedua, cara bertindak atau taktik dan strategi yang akan digunakan. Ketiga, kekuatan yang akan dilibatkan.
Nah, ketiga hal ini yang harus diperhitungkan oleh seorang pimpinan kesatuan. Adanya kebobolan itu berarti ketiga hal ini lemah sekali, di dalam rangka menilai tantangan itu seperti apa berkembangnya seperti apa lemah, memilih strategi dan taktik mengatasi masalah lemah, penyusunan kekuatan untuk menghadapi itu juga lemah. Seperti kasus di Temanggung, kekuatan sudah cukup, tetapi strategi dalam penanganannya lemah.
Kedua, koordinasi antar fungsi. Sebenarnya kalau data intelijen sudah didapatkan, itu proses sistematika dan prosedurnya itu fungsi Bimas (Bimbingan Masyarakat) Polisi cepat memberikan langkah-langkah pendekatan kepada masyarakat agar masyarakat tidak bertindak anarki. Jadi Bimas Polisi dikerahkan semua untuk memberikan penyuluhan.
Ini kan tidak pernah kelihatan selama ini, buktinya data intelijen sudah ada tahu-tahu kekuatan sudah muncul di situ tapi tidak cukup. Tampak koordinasi antar fungsi Intelijen, fungsi Samapta, fungsi Brimob dan fungsi Bimas itu berjalan sendiri-sendiri. Ini artinya koordinasi antar fungsi kepolisian lemah sekali. Jadi dua hal ini, manajemen operasional dan koordinasi antar fungsi lemah. Ini yang perlu diperbaiki oleh pihak kepolisian.
Ada faktor lainnya selain lemah manajemen operasional dan koordinasi itu?
Seperti yang saya katakan, faktor lain itu soal regulasi dan UU yang mengatur Sistem Keamanan Nasional. Di mana keterbantuan unsur-unsur keamanan yang ada di Indonesia, ada Polisi, ada Polisi Pamong Praja dan militer. Padahal keamanan dalam negeri itu tidak hanya polisi yang menanggulanginya. Unsur Satpol PP, Satpam ada polisi khusus dan militer, itu belum terkoordinasi secara sistemik dalam menanggulangi keamanan di dalam negeri. Ini mempengaruhi kemampuan Polri untuk menanggulangi ancaman Kamtibmas.
Solusi mengatasi kegagalan penanganan kasus di Cikeusik dengan mencopot Kapolres Pandeglang dan Kapolda Banten, apakah tepat?
Saya pikir itu tepat, karena kelemahan seperti yang saya katakan menyangkut manajemen operasional dan koordinasi antar fungsi kepolisian yang lemah. Maka petugas di lapangan dan dua kesatuan atau dua tingkat pimpinan ke atasnya itu bisa dicopot. Jadi Kapolri Jenderal Pol Timor Pradopo sudah tepat mencopot Kaplores Pandeglang dan Kapolda Banten itu. Seharusnya langkah yang sama dilakukan juga dalam kasus Temanggung, Jawa Tengah. Seharusnya Kapolri adil dong melakukan tindakan itu, jangan setengah-setengah, karena kasus ini juga sama kebobolan.
Langkah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membubarkan organisasi massa (Ormas) yang anarkis, bagaimana?
Itu dia seperti yang saya katakan tadi, ini akan menjadi bumerang sendiri bagi kepolisian. Polisi harus berani mengungkap siapa pun pelakunya, tidak perlu takut karena hukum melindungi dia. Kalau polisi begini terus dan tidak tuntas, kalau teror dan narkotika mampu, ini tidak mampu ini ada apa? Polisi akan jadi sasarannya. Agar polisi tidak dikuyo-kuyo ya harus ungkap.
Kalau soal pembubaran Ormas itu sudah diatur dalam UU-nya. Artinya pembubaran itu tidak bisa sembarangan begitu saja. Harus ada bukti-bukti yang kuat antara oknum-oknum atau personal di dalam satu ormas, yang berkaitan dengan tindakan anarkis, yang itu merupakan kebijakan lembaga ormasnya. Kalau itu tidak bisa membuktikan, itu akan sulit juga mau membubarkan.
Jadi harus ada prosedur, fakta-fakta dan bukti-bukti baru bertindak melakukan pembubaran itu. Nah di sinilah sebenarnya kemampuan polisi dituntut untuk membuktikan adanya anarki-anarki yang dilakukan oleh oknum-oknum atau personal ormas tertentu. Kalau itu terkait bisa ditunjukan ke Presiden, seperti apa yang terjadi dalam kasus penyerangan terhadap Koalisi Kebebasan Beragama di Monas dan pengrusakan sejumlah tempat-tempat hiburan malam.
Bagaimana yang harus dilakukan aparat keamanan ke depan dalam mengatasi persoalan ini agar tak terulang lagi?
Harapan saya, polisi harus membedakan mana kasus-kasus atau peristiwa-peristiwa yang ada dugaan berbau politik dengan kewenangan polisi sebagai penegak hukum. Polisi tidak perlu terpengaruh oleh kepentingan-kepentingan politik tertentu,
polisi hanya taat kepada hukum. Siapa yang melanggar hukum secara pidana, tindak secara tegas.
Tapi kalau polisi masih ragu-ragu dengan intervensi atau dugaan intervensi kepentingan politik, sampai kapan pun republik ini akan goyah terus dan polisi tidak akan menjadi tonggak dalam penegakan hukum. Oleh karena itu polisi harus betul-betul menjadi panglima penegakan hukum, tidak terpengaruh intervensi tertentu. (zal/iy)
0 Response to "Siapa Dalang Kerusuhan SARA?"
Post a Comment